Mengenal Oryzophobia Fobia Makanan Pokok dari Perspektif Psikologi

Makanan pokok, yang dianggap sebagai
simbol kesejahteraan di banyak budaya Asia, tampaknya menjadi bagian penting
dari kehidupan sehari-hari orang Indonesia. Nasi selalu menjadi sajian utama di
setiap sudut negeri, dari warung pinggir jalan hingga restoran bintang lima.
Namun, bagaimana jika butiran putih ini malah membuat orang takut? Fenomena ini
bukan hanya cerita, atau alasan diet ekstrem ini ada. Ini disebut oryzophobia,
atau fobia terhadap nasi, dan nyata. Rasa takut terhadap nasi tampaknya tidak
masuk akal bagi sebagian besar orang. "Lho, kamu orang Indonesia kok takut
nasi?" atau "Itu cuma nasi, masa takut?" adalah beberapa contoh
reaksi yang sering diberikan. Sayangnya, komentar seperti ini justru
memperburuk keadaan fobia. Mereka malah menerima kritik, mengokohkan stigma
gangguan mental yang tidak lazim, alih-alih mendapatkan pemahaman.
Oryzophobia seringkali tidak berasal dari sesuatu yang lain. Ia mungkin merupakan bagian dari fobia yang lebih kompleks dikenal sebagai aversion to texture atau trauma psikologis yang terkait dengan pengalaman masa lalu. Beberapa penderita mengatakan mereka merasa jijik, mual, atau bahkan panik ketika mereka mencium bau nasi panas, menyentuh butirannya yang lembek, atau melihat sepiring nasi di meja. Di Indonesia, tidak makan nasi bisa dianggap "belum makan". Kalimat populer seperti “Kalau belum makan nasi, belum kenyang,” menjadi beban tersendiri bagi penderita oryzophobia. Mereka dianggap aneh, sulit diatur, atau terlalu pemilih dalam makanan. Tekanan ini membuat banyak penderita memilih untuk diam dan berpura-pura, atau memaksa diri hingga merasa mual hanya demi “normalisasi sosial”.
Apa yang Sebenarnya Terjadi di Otak?
Dari
perspektif neurologi, fobia dikaitkan dengan reaksi berlebihan dari amigdala,
pusat pengatur rasa takut di otak. Amigdala penderita oryzophobia mengirimkan
sinyal darurat seperti jantung berdebar, napas pendek, dan bahkan serangan
panik ketika mereka melihat atau mencium nasi. Seolah-olah tubuh menghadapi
ular atau ketinggian ekstrem, tubuh menanggapi nasi sebagai bahaya nyata. Sifatnya
yang sangat subjektif membuatnya rumit. Dua orang bisa punya pengalaman masa
kecil yang serupa, namun hanya satu yang mengembangkan fobia. Artinya, faktor
genetik, sensitivitas emosi, dan bagaimana lingkungan menangani ketakutan
sangat berperan dalam pembentukan fobia ini.
Fobia
nasi tidak dapat diobati dengan kekerasan. Oryzophobia memerlukan pendekatan
psikologis yang empatik, seperti fobia lainnya. Terapi perilaku kognitif (CBT)
telah terbukti membantu orang dengan fobia. Penderita dilatih untuk
mengidentifikasi pola pikir irasional selama terapi ini dan secara bertahap
dikenalkan kembali pada sumber ketakutan mereka dalam lingkungan yang aman. Hipnoterapi
juga kadang-kadang digunakan untuk mengidentifikasi sumber trauma masa lalu
yang tertanam di alam bawah sadar. Yang paling penting, pemulihan hanya dapat
terjadi jika lingkungan sekitar mendukung dan tidak memaksakan kebutuhan budaya
tentang makanan.
Bagi mereka yang tidak bisa makan
nasi baik karena fobia, gangguan pencernaan, atau sekadar bosan berikut
beberapa alternatif karbohidrat yang tak kalah lezat dan bernutrisi yakni
sebagai berikut:
- Ubi Jalar
: Kaya serat, vitamin A, dan antioksidan. Bisa dikukus, dipanggang, atau
dijadikan mash sebagai pengganti nasi. Ubi juga memiliki indeks glikemik
rendah, cocok untuk penderita diabetes.
- Jagung
: Sudah lama jadi makanan pokok di wilayah NTT dan Sulawesi. Bisa diolah
jadi nasi jagung, bubur, atau dicampur sayuran untuk sajian ringan dan
bergizi.
- Sagu
: Makanan pokok masyarakat Papua dan Maluku. Sagu punya nilai historis
tinggi dan cocok untuk orang dengan sensitivitas gluten.
- Quinoa dan Oat
: Meski bukan produk lokal, dua bahan ini mulai populer sebagai superfood.
Kandungan proteinnya tinggi, dan teksturnya cocok untuk yang tak suka
nasi.
- Kentang
: Mudah diolah, cepat kenyang, dan sangat fleksibel dalam penyajian. Cocok
untuk menu diet rendah kalori.
- Singkong
: Bisa digoreng, dikukus, atau dibuat tiwul. Kandungan karbohidratnya
tinggi, dan dalam bentuk fermentasi seperti tape, singkong bahkan
bermanfaat untuk pencernaan.
Jika dibandingkan dengan gangguan mental lain yang lebih dikenal publik, seperti depresi atau bipolar, oryzophobia mungkin terlihat kecil. Meskipun fobia terhadap nasi mungkin tampak tidak biasa, itu sebenarnya menunjukkan masalah psikologis yang patut dipahami dan dipahami. Tekanan sosial, sensitivitas sensorik, trauma, dan ketakutan tersembunyi di balik pengalaman emosional yang tampak sederhana. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menyadari dan memahami berbagai reaksi manusia terhadap makanan, termasuk nasi, yang selama ini dianggap sebagai simbol keseharian. Langkah pertama menuju masyarakat yang lebih sehat secara mental dan emosional adalah empati, bukan penghakiman.
Penulis : Dwi Indah Prastuti
(PGPAUD)
Editor : Dwi Indah Prastuti (PGPAUD)